puisi untuk anak si punggung jalang
Mun
Mun, untuk si pengecut itu
Yang mencari hujan dalam neraka
Bodoh sekali kau Mun! Aku sangat prihatin
Ia tetap mancabik baja tua dengan sekelinting jemari genapnya
Aku masih heran dengan kau Mun
Katakan dengan bohong aku jujur
Mun, candai si anarki itu
Dia selalu berkata reformasi
Dia tidak ingin biru
Lembayung senja mana yang dipapahnya
Dia sangat aneh Mun!
Seandai andai langit adalah ungu
Dan gadis adalah hitam
Maka dia akan berteriak ”emansipasi”
Ha ha ha si anarki itu tak pernah goyah Mun!
Pun rumpun ampun alun beralun
Mun, si sendu belum duduk dari sakitnya
Dia terlalu lama memandang derita
Dia tak pernah bahagia
Tapi dia bodoh, dia tidak mengadu pada tuhan
Mun, seandai ganjil adalah genap
Seandai prima dapat terbagi
Katakan pada bapak tak bertulang gigi itu makanlah nasi
Jangan makan rupiah, itu adalah sakit
Lihat si lapar ia terus menggerutu
Karenanya ia putus sekolah
Mun, seandai bayang adalah hijau
Pastilah orang berkata ”ada lumut”
Tapi sekali lagi sekali tepuk jemari lari menari
Mengapa aku berkata padamu
Si Mun angkat bicara ”si aku adalah gila”
Aku berkata ”si Mun adalah Munafik!”
Punggung
Jalang
Ini sebuah pincangan gemeretak bandit samudera
Deru
kumuh dan kiprah bisik lembar keusangan
Ia
menegak dan bertopang dagu pada topan yang menggila
Menjemur hujan di embun mentari
Menggenggam
halilintar dalam igauan busuk
Dengar
pengecut ini bukan bicara tentang tangan dinginmu
Apa!
Kau ingin menggayung darah mayatku?
Setetespun takkan sudi daku membiarkan darahku merapuh
Didalam dunia anginmu
Sudah pantaskah kau merdeka
Ini
bukan tentang kasih monyet!
Bukan
aksen biru dikamera yang kau patungkan
Bukan kebodohan setelah pergerakan nasional
Orang
sepertimu tak layak merdeka
Harusnya kau memakan basa ditahun gerilya
Diabad
kau dipasung
Dihari
kau dipancung
Memahami
secarik dan makna proklamasi
Si
Luka Tak Bertuan
Teriakkan hooo dengan nada kecil
Jangan sampai terdengar oleh tuhan
Aku takut nanti
dia terbangun
Bodoh! Tuhan tak pernah tidur
Memang aku bodoh, karena aku tak pintar
Aku tak pintar karena aku bodoh
Kau mengerti karena kau tahu
Kau tahu karena kau mengerti
Dik, tadi ibu merujum nestapa
Jangan lagi kau permainkan tuhan
Luka, siapa kau?
Jangan remukkan bilah bilah semu
Ia adalah sajadah hitam yang lenggam
Jika cinta adalah sebelah
Matilah kalbuku terbelah
Gemuruhku adalah putih
Bagai kafan yang menggulung si duka
Duka luka nista hina dina nestapa
Ini kisah sendu hari biru dalam pilu seribu
Andai sejati adalah mati
Akankah tuan sudi?
Dik, jangan bertanya pada si bangsawan itu
Dia tidak punya anak lidah!
Pantas saja mulutnya kelu
Nanti kita bakar saja rumahnya
Bukankah ayahnya terkenal
Jika kita tertangkap kita masuk televisi
Muka kita dipajang dikoran
Apakah orang akan merasa heran?
Kemana setapak membawa jalan?
Apakah lolong ayam mencari adzan subuh?
Luka, aku penat dihajar temanmu
Pergilah bersama tuan yang baru
Agar puan terharu
Jengana
Pun kutampung derai-derai sulam anak
Tak terkisah dengan bujang yang menyamai buli
Tali-tali langit yang diputus pintu ambrak
Aku bukan jalang pengharap duli
Riuhkan takak belur belur hambar
Rasa yang berawali dipasar
D, dua nama misteri tak
bertuan
Bilahku mengoyak
cakar-cakar tuhan
Tentang D yang diam
Dengar kumembusuk
diserambi lantai penyangga itu
Kau tak kunjung menjemput
kemuna
Jengana ku apit rindu ini
terlalu berisik
Kuku kau kuku kaku mengaku
layu
Nyatanya kau bulan
khayangan
Terlalu patah ku melukis keibaan ini
Tapi tepi mimpi menepi sepi
Asalkan sunyi menggeraki kumo-kumo basah
Aku bukan cinta ayu
Ini hanyalah perkakas berbedil
Ini kisah rasa kakasan
Ini kisah kasih persegi..
Sedru
Seribu menjuta kipasi kemarau ini
Tapi jati tak beranjak
Sementara keladi berlari mencari angin
Mentari, kau bukan raja pintu mata
Kau hanya seberkas bintang berjamur, bertulip
Tak berharga...
Jika menggalaukan igau
dipetang menatang
Ia adalah deru terbusuk
dalam syukur
Jika hanya keriaan yang
mengidam
Maka katakan semua rasa itu
Dia terlalu sempurna untuk
seorang
binglala tak berperikan
warna
Dia terlalu indah untuk
seurai
jemari kaku sementara
jemarinya selalu menjunjuk
ayat-ayat tuhan
Sungguh mimpi yang terlalu
sibak
Kau hanya angin mengantam,
malam
Jika jiwamu putih dengan selerai kelemahan itu
Jangan goyahkan sukmaku lagi
Imanku patah...
Tentang Penulis
Melinda Sari lahir 14 tahun silam di Pekanbaru, Riau 28
Januari 2003. Menjadi orang yang introvert dan menuangkan kepiluan didalam
tulisan, sekarang tengah mengenyam pendidikan di SMPN 27 Pekanbaru, Riau.
Beralamat di Riau, Pekanbaru, kecamatan Rumbai, Kelurahan Sri Meranti, Jalan
Nelayan Gang SMPN 27 Pekanbaru RT 4 RW 1. Tak pernah mengikuti kursus menulis,
hanya terpaut dengan jiwa nasionalisme yang terinspirasi dari tokoh Soekarno.
Nomor telepon 0819 2726 3688, sangat mengidolakan HAMKA. Akun Facebook Imel S.
Komentar
Posting Komentar